Berikan Komentar yang membangun untuk lebih mengembangkan blog ini

Selasa, 04 Desember 2012

KONSEP ETIKA BISNIS SYARI'AH

Bab I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara Muslim tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations. Di samping itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta dari sebuah usaha secara maksimal.
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi baik kapitalisme maupun sosialisme-, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang niscaya untuk dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian, tulisan ini akan mengkaji permasalahan revitalisasi perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil.
 
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana memurnikan kegiatan bisnis yang selama ini banyak disalah gunakan?
2.      Kapan seseorang (pebisnis) akan dikatakan sebagai pelaku bisnis yang baik?
3.      Prinsip dasar yang digunakan dalam etika bisnis Islam
4.      Konsep atau prinsip apa yang digunakan dalam melakukan bisnis terutama dalam bisnis Islam?
 

 
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
A.    Pengertian Etika Bisnis Dalam Islam
1.      Definisi Etika
Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara moral (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)
Etika memiliki dua pengertian : Pertama, etika sebagaimana moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika membantu manusia bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung-jawabkan.
Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno :1999)
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk
Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
2.      Definisi Bisnis
Sedangkan bisnis mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
Secaraumum bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi
secara efektif dan efisien (Muslich, 2004: 46).  Menurut Anoraga dan Soegiastuti dalam Yusanto (2002: 15), bisnis memiliki makna dasar sebagai ”the
buying and selling
of goods and services”. Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
Dalam Islam, bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya
(barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya, yaitu aturan halal dan haram (Yusanto, 2002: 18).
Sedangkan menurut Hughes dan Kapoor dalam Arifin (2009: 21) bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisir untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan masyarakat dan ndustri.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa bisnis adalah aktivitas yang dilakukan oleh seorang individu utnuk mengelola sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendapatkan keuntungan sebagai imblan dari usaha yang telah dilakukannya.
3.      Pengertian Etika Bisnis Islam
Apabila etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan antara yang benar dari apa yang salah, maka dalam Islam banyak padanan kata yang dekat
dengan makna tersebut, antara lain: khuluq,khair, birr, adl, haq, dan taqwa. Dengan mengacu pada term tersebut, maka kajian tentang etika bisnis dalam Islam berakar pada dua sumber utama hukum Islam yaitu al Qur’an dan al al Hadits (Muhammad, 2008: 62). Misal dalam al
Qur’an Allah SWT dengan tegas melarang seorang hamba memakan sebagian harta yang lain dengan cara yang batil. Sebagaimana firman-Nya dalam Surat al Baqarah ayat 188 :
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Ayat ini memberikan syarat boleh dilangsungkannya perdagangan dengan dua hal.
Pertama, perdagangan itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua
belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak
lain. Kedua, tidak boleh saling merugikan baik untuk diri sendiri(vested interest) maupun orang lain.
Dengan demikian ayat ini memberikan pengertian, bahwa setiap orang tidak boleh
merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Sebab hal demikian, seolah olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba, pekerjaan lain yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan (Qardhawi, 1993: 38).
Dengan dasar normatif di atas jelaslah bahwa urusan ekonomi dan bisnis dalam Islam tidak dapat dipandang sebagai sebuah entitas yang berdiri lepas dari nilai-nilai
etika-religius yang bersumber dari wahyu Tuhan. Etika bisnis dalam perspektif
Islam memadukan unsur-unsur yang bersifat profan dengan etika yang bersifat
sakral secara seimbang (Muhammad, 2008: 63).
Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram (lihat. QS. 2:188, 4:29).
Bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.
Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukakn berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal. Tablig, mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari (berbagai sumber).
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks corporate social responsibility (CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut besikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong.
Pelaku usaha/pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat disampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid dan kuat.
Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.
Berikut ini merupakan penegasan dari Allah Swt. bahwa Islam memiliki sistem yang sempurna dalam rangka membahas berbagai persoalan bisnis yang ada di dunia baik yang bersifat materi maupun bukan. Termasuk dalam hal ini menyangkut mengenai bisnis, dalam usaha melakukan bisnis Allah telah menegaskan dalam firman-firmannya, sebagai berikut :
1)      Al-Baqarah : 282
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika orang yang berutang itu orang kurang akalnya atau lemah (keadaanya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika ada yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik utang itu kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dekat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dari begitu juga saksi. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
2)      An-Nisaa : 29
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu".
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil dan cara mencari keuntungan yang tidak sah dan melanggar syari'at seperti riba, perjudian dan yang serupa dengan itu dari macam-macam tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syari'at tetapi Allah mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya suatu tipu muslihat dari sipelaku untuk menghindari ketentuan hokum yang telah digariskan oleh syari'at Allah. Allah mengecualikan dari larangan ini pencaharian harta dengan jalan perdagangan (perniagaan) yang dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
3)      At-Taubah : 24
"Katakanlah jika Bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasulnya dan dari berjihad di jalan Allah maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik"
Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin menjauhi orang-orang kafir, walaupun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara mereka sendiri, dan melarang untuk berkasih saying kepada mereka yang masih lebih mengutamakan kekafiran mereka daripada beriman.
4)      An-Nur : 37
"Bertasbih dan bertahmidlah Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (dihari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang"
Allah SWT berfirman menceritakan tentang hamba-hamba-Nya dan memperoleh pancaran nur iman dan takwa di dada mereka, bahwa mereka itu tekun dalam ibadahnya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan selalu beri'tikaf di dalam masjidbertasbih, bertahmid dan bertahlil. Mereka sekali-kali tidak tergoda dan tidak akan dilalaikan dari ibadah itu, kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, berusaha dan berdagang (berniaga). Mereka itu benar-benar cakap membagi waktu di antara kewajiban ukhrawi dan kewajiban duniawi, sehingga tidak sedikitpun tergesr amal dan kewajiban ukhrawi mereka oleh usaha duniawi mereka.
5)      Fatir : 29
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi"
Allah SWT berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang mukmin yang selalu membaca kitab Allah dengan tekunnya, beriman bahwasanya kitab itu adalah wahyu dari sisi-Nya kepada Rasul-Nya dan mengerjakan apa yang terkandung di dalamnya seperti perintah shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Allah karuniakan kepadanya untuk tujuan-tujuan yang baik yang membawa ridha Allah dan restu-Nya, menafkahkan secara diam-diam tidak diketahui orang lain atau secara terang-terangan, mereka itulah dapat mengharapkan perdagangan (perniagaan) yang tidak akan merugi dan akan disempurnakanlah oleh Allah pahala mereka serta akan ditambah bagi mereka karunia-Nya berlipat ganda. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri amal-amal baik hamba-hamba-Nya yang sekecil-kecilnya pun.
6)      As-Shaff : 10
"Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab pedih?"
7)      Al-Jum’ah : 11
"Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggallah engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah , "Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan," dan Allah pemberi rezeki yang terbaik".
 
B.    
1.         Kesatuan (Unity)
Adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen,serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama,ekonomi,dan sosial demi membentuk kesatuan.Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal,membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.         Keseimbangan (Equilibrium)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis,Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8, yang artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil.Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3.         Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.Kepentingan individu dibuka lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat.infak dan sedekah.
4.         Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabiliats.untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan,manusia perlu mempertnaggungjawabkan tindakanya.secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas.Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5.         Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran.Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat,sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi ,kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
 
C.    Bisnis dalam Islam
a.  Prinsip Tauhid (kesatuan)
Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan serba inklusif. Pada tingkat absolut ia membedakan khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada Allah semata. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus hirizontal yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus terpadu dengan alam luas (Naqvi, 1993: 50-51).
Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal (Beekun, 1997: 20-23): (1), tidak diskriminasi terhadap pekerja, penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar
pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama. (2), Allah yang paling ditakuti dan dicintai. (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah.
b. Prinsip Keadilan
Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan (Muslich, 2004: 37).
Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderenan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis (Muhammad dan Fauroni, 2002: 13).
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan diri. Harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar.
Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.
Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat berikut: (1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2), setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial marginal dan individual dalam masyarakat. (3), tidak mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali (Naqvi, 1993: 99).
 
c. Prinsip Kehendak
Bebas Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan yang akan dicapainya. Manusia dianugerahi kehendak bebas (freewill) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis tertentu, berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada (Beekun, 1997: 24).
Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekuensi baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan buruk sebagai bentuk risiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan dosa (Muslich, 2004: 42).
d.  Prinsip Pertanggungjawaban
Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusi tidak lepas dari pertanggungjawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an Surat al Mudatsir ayat 38 :
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya memiliki batas-batas tertentu, dan tidak digunakan sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh koridor hukum, norma dan etika yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang terlarang atau yang diharamkan, seperti judi,
riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan Muslich, 2004: 43)
Pertanggunjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada tiga hal, yaitu: (1), dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2), economic return bagi pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga). (3), Islam melarang semua transaksi alegotoris yang dicontohkan dengan istilah gharar (Naqvi, 1993: 103).
  
BAB III
KESIMPULAN
Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil, sehingga seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan ketidakadilan dilarang, yaitu:
1. Talaqqi rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota akan memperoleh keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari daerah pinggiran atau kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang desa ke kota ini (entry barrier), akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
2. Mengurangi timbangan atau sukatan dilarang, karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
3. Menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk.
4. Menukar kurma kering dengan kurma basah dilarang, karena takaran kurma basah ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar tersebut.
5. Menukar satu takaran kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang dilarang, karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasarnya.
6. Transaksi Najasy dilarang, karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
7. Ikhtikar dilarang, karena bermaksud mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
8. Ghaban Fahisy dilarang, karena menjual di atas harga pasar.

DAFTAR PUSTAKA
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta; Kencana 2010,
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), hlm.3-7.
Maxime Rodinson, Islam dan Kapitalisme, terj. Asep hikmat, (Bandung: Iqra’, 1982).

Tidak ada komentar: