Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi
yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang
ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan
kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai
persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara
Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di
negara-negara Muslim tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari
Islam kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang
dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa
pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh
sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations. Di samping itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan
munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai
pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill
maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam pengertiannya yang sangat umum,
maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah begitu akrab dengan ajaran
Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi ayat
al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta dari sebuah usaha secara
maksimal.
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang
memberi pengajaran cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan
menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan
perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan
tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi
lainnya dalam Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru
yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian
barat.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam
bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk
memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena
itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya
revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi baik kapitalisme maupun sosialisme-, menggali nilai-nilai dasar Islam
tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan
suatu hal yang niscaya untuk dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian,
tulisan ini akan mengkaji permasalahan revitalisasi perdagangan Islam, yang
akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana memurnikan kegiatan bisnis yang selama ini banyak disalah
gunakan?
2. Kapan seseorang (pebisnis) akan dikatakan sebagai pelaku bisnis yang baik?
3. Prinsip dasar yang digunakan dalam etika bisnis Islam
4. Konsep atau prinsip apa yang digunakan dalam melakukan bisnis terutama
dalam bisnis Islam?
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
A.
Pengertian Etika Bisnis Dalam Islam
1.
Definisi Etika
Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos
mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai
apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung
jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau
tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara
moral (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)
Etika memiliki
dua pengertian : Pertama, etika sebagaimana moralitas, berisikan nilai dan
norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam
seluruh kehidupan. Kedua, etika sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika
membantu manusia bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung-jawabkan.
Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia
merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai
manusia (Franz Magnis-Suseno :1999)
Menurut K. Bertens
dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama,
etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau
nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang
baik dan buruk
Menurut Ahmad Amin
memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti
yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus
diperbuat.
2.
Definisi Bisnis
Sedangkan
bisnis mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai suatu organisasi yang
menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan
oleh konsumen untuk memperoleh profit.
Secaraumum bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia
untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi
secara efektif dan efisien (Muslich, 2004: 46). Menurut Anoraga dan Soegiastuti dalam Yusanto (2002: 15), bisnis memiliki makna dasar sebagai ”the
buying and selling of goods and services”. Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi
secara efektif dan efisien (Muslich, 2004: 46). Menurut Anoraga dan Soegiastuti dalam Yusanto (2002: 15), bisnis memiliki makna dasar sebagai ”the
buying and selling of goods and services”. Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
Dalam
Islam, bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam
berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya
(barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya, yaitu aturan halal dan haram (Yusanto, 2002: 18).
(barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya, yaitu aturan halal dan haram (Yusanto, 2002: 18).
Sedangkan
menurut Hughes dan Kapoor dalam Arifin (2009: 21) bisnis adalah suatu
kegiatan usaha individu yang terorganisir untuk menghasilkan dan menjual barang
dan jasa guna mendapatkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan masyarakat dan
ndustri.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dipahami bahwa bisnis adalah aktivitas yang dilakukan
oleh seorang individu utnuk mengelola sumber daya ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mendapatkan keuntungan sebagai imblan dari usaha yang
telah dilakukannya.
3. Pengertian Etika Bisnis Islam
Apabila
etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan antara
yang benar dari apa yang salah, maka dalam Islam banyak padanan kata yang dekat
dengan makna tersebut, antara lain: khuluq,khair, birr, adl, haq, dan taqwa. Dengan mengacu pada term tersebut, maka kajian tentang etika bisnis dalam Islam berakar pada dua sumber utama hukum Islam yaitu al Qur’an dan al al Hadits (Muhammad, 2008: 62). Misal dalam al
dengan makna tersebut, antara lain: khuluq,khair, birr, adl, haq, dan taqwa. Dengan mengacu pada term tersebut, maka kajian tentang etika bisnis dalam Islam berakar pada dua sumber utama hukum Islam yaitu al Qur’an dan al al Hadits (Muhammad, 2008: 62). Misal dalam al
Qur’an Allah SWT dengan
tegas melarang seorang hamba memakan sebagian harta yang lain dengan cara yang
batil. Sebagaimana firman-Nya dalam Surat al Baqarah ayat 188 :
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Ayat
ini memberikan syarat boleh dilangsungkannya perdagangan dengan dua hal.
Pertama, perdagangan itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua
belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak
lain. Kedua, tidak boleh saling merugikan baik untuk diri sendiri(vested interest) maupun orang lain.
Pertama, perdagangan itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua
belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak
lain. Kedua, tidak boleh saling merugikan baik untuk diri sendiri(vested interest) maupun orang lain.
Dengan
demikian ayat ini memberikan pengertian, bahwa setiap orang tidak boleh
merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Sebab hal demikian, seolah olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba, pekerjaan lain yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan (Qardhawi, 1993: 38).
merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Sebab hal demikian, seolah olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba, pekerjaan lain yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan (Qardhawi, 1993: 38).
Dengan dasar normatif di
atas jelaslah bahwa urusan ekonomi dan bisnis dalam Islam tidak dapat dipandang
sebagai sebuah entitas yang berdiri lepas dari nilai-nilai
etika-religius yang bersumber dari wahyu Tuhan. Etika bisnis dalam perspektif
Islam memadukan unsur-unsur yang bersifat profan dengan etika yang bersifat
sakral secara seimbang (Muhammad, 2008: 63).
etika-religius yang bersumber dari wahyu Tuhan. Etika bisnis dalam perspektif
Islam memadukan unsur-unsur yang bersifat profan dengan etika yang bersifat
sakral secara seimbang (Muhammad, 2008: 63).
Bisnis Islami
ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi
jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara
memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram (lihat.
QS. 2:188, 4:29).
Bisnis Islam
sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan perdagangan. Karakteristik
Nabi Saw., sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga
memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih
ditambah Istiqamah.
Shidiq berarti
mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan
atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam
iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah
dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga
menghasilkan sesuatu yang optimal. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan
menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat
ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukakn berbagai macam
inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas
dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang
optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal. Tablig, mengajak sekaligus
memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari (berbagai sumber).
Berdasarkan
sifat-sifat tersebut, dalam konteks corporate social responsibility
(CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut besikap tidak
kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya.
Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan
(tidak ditutup-tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara
berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong.
Pelaku
usaha/pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap
keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang
terbaik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan
kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat disampaikan pelaku usaha dengan
bijak (hikmah), sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan
kemanusiaan yang solid dan kuat.
Para pelaku
usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya
merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang
ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga
dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.
Berikut ini merupakan penegasan
dari Allah Swt. bahwa Islam memiliki sistem yang sempurna dalam rangka membahas
berbagai persoalan bisnis yang ada di dunia baik yang bersifat materi maupun
bukan. Termasuk dalam hal ini menyangkut mengenai bisnis, dalam usaha melakukan
bisnis Allah telah menegaskan dalam firman-firmannya, sebagai berikut :
1) Al-Baqarah : 282
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu
mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah
dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika orang yang berutang itu orang
kurang akalnya atau lemah (keadaanya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri,
maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada saksi dua orang
laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara
orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika ada yang
seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi
itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas
waktunya baik utang itu kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah, lebih dekat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada
ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak
menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah
penulis dipersulit dari begitu juga saksi. Jika kamu lakukan yang demikian,
maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah,
Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu".
2) An-Nisaa : 29
"Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali
dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu".
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memakan harta sesamanya dengan
cara yang bathil dan cara mencari keuntungan yang tidak sah dan melanggar
syari'at seperti riba, perjudian dan yang serupa dengan itu dari macam-macam
tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syari'at tetapi Allah
mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya suatu tipu muslihat dari sipelaku
untuk menghindari ketentuan hokum yang telah digariskan oleh syari'at Allah. Allah mengecualikan dari larangan ini
pencaharian harta dengan jalan perdagangan (perniagaan) yang dilakukan atas
dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
3) At-Taubah : 24
"Katakanlah jika Bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu
cintai dari pada Allah dan Rasulnya dan dari berjihad di jalan Allah maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik"
Allah SWT memerintahkan
orang-orang mukmin menjauhi orang-orang kafir, walaupun mereka itu bapak-bapak,
anak-anak, atau saudara-saudara mereka sendiri, dan melarang untuk berkasih
saying kepada mereka yang masih lebih mengutamakan kekafiran mereka daripada
beriman.
4) An-Nur : 37
"Bertasbih dan
bertahmidlah Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari
membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (dihari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang"
Allah SWT berfirman menceritakan tentang
hamba-hamba-Nya dan memperoleh pancaran nur iman dan takwa di dada mereka,
bahwa mereka itu tekun dalam ibadahnya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
selalu beri'tikaf di dalam masjidbertasbih, bertahmid dan bertahlil. Mereka
sekali-kali tidak tergoda dan tidak akan dilalaikan dari ibadah itu, kegiatan
yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, berusaha dan berdagang (berniaga).
Mereka itu benar-benar cakap membagi waktu di antara kewajiban ukhrawi dan
kewajiban duniawi, sehingga tidak sedikitpun tergesr amal dan kewajiban ukhrawi
mereka oleh usaha duniawi mereka.
5) Fatir : 29
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca
kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi"
Allah SWT berfirman
tentang hamba-hamba-Nya yang mukmin yang selalu membaca kitab Allah dengan
tekunnya, beriman bahwasanya kitab itu adalah wahyu dari sisi-Nya kepada
Rasul-Nya dan mengerjakan apa yang terkandung di dalamnya seperti perintah
shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Allah karuniakan kepadanya untuk
tujuan-tujuan yang baik yang membawa ridha Allah dan restu-Nya, menafkahkan
secara diam-diam tidak diketahui orang lain atau secara terang-terangan, mereka
itulah dapat mengharapkan perdagangan (perniagaan) yang tidak akan merugi dan
akan disempurnakanlah oleh Allah pahala mereka serta akan ditambah bagi mereka
karunia-Nya berlipat ganda. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri amal-amal
baik hamba-hamba-Nya yang sekecil-kecilnya pun.
6) As-Shaff : 10
"Wahai orang-orang yang
beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan
kamu dari azab pedih?"
7) Al-Jum’ah : 11
"Dan apabila mereka
melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka
tinggallah engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah ,
"Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada
permainan dan perdagangan," dan Allah pemberi rezeki yang terbaik".
B.
1.
Kesatuan
(Unity)
Adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen,serta mementingkan konsep
konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama,ekonomi,dan sosial demi membentuk
kesatuan.Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu,
vertikal maupun horisontal,membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.
Keseimbangan
(Equilibrium)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis,Islam mengharuskan
untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8, yang artinya : “Hai orang-orang
beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil.Dan janganlah sekali-sekali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku
adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3.
Kehendak Bebas
(Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,tetapi
kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.Kepentingan individu dibuka
lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk
aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.Kecenderungan
manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas
dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya
melalui zakat.infak dan sedekah.
4.
Tanggungjawab
(Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh
manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabiliats.untuk
memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan,manusia perlu mempertnaggungjawabkan
tindakanya.secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas.Ia
menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan
bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5.
Kebenaran:
kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan
dari kesalahan,mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran.Dalam
konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat,sikap dan perilaku benar yang
meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas
pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat
menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu
pihak yang melakukan transaksi ,kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
C.
Bisnis dalam Islam
a. Prinsip Tauhid (kesatuan)
Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan serba inklusif. Pada tingkat
absolut ia membedakan khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan tanpa syarat
kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan suatu prinsip
perpaduan yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan
kepada Allah semata. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus
hirizontal yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia
menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus
terpadu dengan alam luas (Naqvi, 1993: 50-51).
Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama,
ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka
pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal
(Beekun, 1997: 20-23): (1), tidak diskriminasi terhadap pekerja,
penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar
pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama. (2), Allah yang paling ditakuti dan dicintai. (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah.
pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama. (2), Allah yang paling ditakuti dan dicintai. (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah.
b. Prinsip Keadilan
Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki
sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia
dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan
(Muslich, 2004: 37).
Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam
sebagai ummatan wasathan. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki
kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki
aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan
demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderenan merupakan prinsip etis mendasar
yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis (Muhammad dan
Fauroni, 2002: 13).
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan
dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan
diri. Harus menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar.
Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.
Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.
Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat
berikut: (1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik
keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis
dalam genggaman segelintir orang. (2), setiap kebahagiaan individu harus
mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah
makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang
sama antara nilai sosial marginal dan individual dalam masyarakat. (3), tidak
mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali
(Naqvi, 1993: 99).
c. Prinsip Kehendak
Bebas Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas tertentu
mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan yang akan
dicapainya. Manusia dianugerahi kehendak bebas (freewill) untuk
membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas
ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian
atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis tertentu, berkreasi
mengembangkan potensi bisnis yang ada (Beekun, 1997: 24).
Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi
yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan
dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekuensi baik yang dapat
dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan buruk sebagai bentuk risiko dan
manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan dosa
(Muslich, 2004: 42).
d. Prinsip Pertanggungjawaban
Segala kebebasan dalam
melakukan bisnis oleh manusi tidak lepas dari pertanggungjawaban yang harus
diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam
al-Qur’an Surat al Mudatsir ayat 38 :
”Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya”.
Kebebasan yang dimiliki
manusia dalam menggunakan potensi sumber daya memiliki batas-batas tertentu,
dan tidak digunakan sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh koridor hukum,
norma dan etika yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang harus
dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan
potensi sumber daya yang dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk melakukan
kegiatan bisnis yang terlarang atau yang diharamkan, seperti judi,
riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan Muslich, 2004: 43)
riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan Muslich, 2004: 43)
Pertanggunjawaban ini
secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala
sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada
tiga hal, yaitu: (1), dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah
harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh
masyarakat. (2), economic return bagi pemberi pinjaman modal harus
dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat
diramalkan dengan probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan
(seperti sistem bunga). (3), Islam melarang semua transaksi alegotoris
yang dicontohkan dengan istilah gharar (Naqvi, 1993: 103).
BAB III
KESIMPULAN
Islam mengatur agar persaingan di pasar
dilakukan dengan adil, sehingga seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan
ketidakadilan dilarang, yaitu:
1. Talaqqi rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di
pinggir kota akan memperoleh keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari daerah
pinggiran atau kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang desa ke kota ini (entry
barrier), akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
2. Mengurangi timbangan atau sukatan dilarang,
karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
3. Menyembunyikan barang cacat karena penjual
mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk.
4. Menukar kurma kering dengan kurma basah
dilarang, karena takaran kurma basah ketika kering bisa jadi tidak sama dengan
kurma kering yang ditukar tersebut.
5. Menukar satu takaran kurma kualitas bagus
dengan dua takar kurma kualitas sedang dilarang, karena setiap kualitas kurma
mempunyai harga pasarnya.
6. Transaksi Najasy dilarang, karena si
penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi
agar orang lain tertarik.
7. Ikhtikar dilarang, karena bermaksud mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk
harga yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Nurul Huda dan Mohamad
Heykal, Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta;
Kencana 2010,
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian
Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), hlm.3-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar